Sabtu, 15 Oktober 2016

LENTERA TAK BERUJUNG

Kenyataan mungkin terbalik dengan keinginan. Jalan kehidupan yang tak selalu indah membuat kenyataan itu jauh dari yang diinginkan. Kehidupan memang berliku-liku, kadang pasang kadang surut. Kadang menyenangkan kadang menyedihkan. Kadang bahagia kadang duka. Namun itulah kenyataan kehidupan yang akan berjalan dengan sendirinya. Tanpa tau arah, waktu dan ruang. Dia akan berjalan sendiri sampai menemukan tempat dimana dia harus berada. Tak ada yang selalu di atas, tak ada yang selalu di bawah. Tak ada yang selalu bahagia, tak ada yang selalu menderita. Semua itu kan berakhir dengan sendirinya dan tak akan berujung oleh apapun. Aku biasa di sapa Siska, aku tak seberuntung mereka. Kehidupan yang kuinginkan sulit untuk jadi kenyataan. Serasa kehidupan bahagia itu masih jauh di pelupuk mata. Kedua orangtuaku pergi dahulu meninggalkan aku dan Rafa adikku. Kecelakaan itu telah, merenggut nyawa kedua orangtuaku. “Ma, Pa, kita mau kemana?”, tanyaku dingin “cuma keluar makan aja kok sayang,”, “Pa, awas!!!”, teriakku spontan Seketika mobil yang kutumpangi menabrak pohon di seberang jalan, untuk menghindari truk yang tiba-tiba saja melaju cepat dari arah berlawanan. Aku langsung memeluk adikku yang tak berdaya keluar untuk menyelamatkan diri. Tanpa memikirkan kedua orangtuaku yang ada berada di depan. “sssstttt, deeeeaaaarrrrr” Suara itu yang tak pernah ku lupakan. Suara ledakan yang menenggelamkan kedua orang tuaku. Yang merenggut nyawa kedua orangtuaku, hingga ku menjadi seperti ini. Memang aku dan Rafa selamat dari kecelakaan maut itu. Namun jika aku bisa memilih aku pilih mati bersama kedua orangtuaku daripada menderita dalam ketidakpastian. Aku memang masih bisa hidup layak bersama Rafa, di rumah yang kutempati dulu dengan Ayah dan Ibu. Namun gimana nanti, giamana setelah harta itu habis sedikit demi sedikit. Aku… akulah yang harus menerimanya. Aku harus menghidupi Rafa adikku. Walaupun kehidupan itu jauh dari kata layak. Aku yang kini menempuh kuliah tulis sastra terpaksa DO untuk bisa fokus kerja menghidupi adikku, ya setidaknya uang yang kudapatkan cukup untuk biaya sekolah Rafa dan makan sehari-hari. Untuk kebutuhan lainnya aku masih menggunakan uang dari harta sepeninggalan orangtuaku, dan uang yang kusisihkan untuk persediaan nanti. Akupun terpaksa meninggalkan kekasihku Firly, karena aku takut jikalau nanti aku tak bisa membahagiakannya dengan kehidupanku yang sekarang. “Firly, ayo ikut aku kebelakang”, sapaku dengan menariknya “ada apa sayang?”, tanya Firly penuh tanya “aku ingn kita berhenti sampai disini, kau tak usah bertanya mengapa. Maafkan aku, aku tak bisa kasih alasan pasti. Tapi yang pasti semua untuk kebaikan kita. Percayalah”, seruku meyakinkannya. Meski perasan sakit, untuk saat ini dibenakku hanya ada Rafa yang harus ku jaga sebagai teman hidupku yang memotivasiku untuk selalu berusaha. Pekerjaan yang kujalani kini cukup memuaskan. Dengan dukungan adikku dan Firly yang selalu ada membantuku, aku masih bisa bertahan dan terus melanjutkan hidup ini. Meski Firly bukanlah kekasihku lagi, tapi aku cukup nyaman dengannya dengan status friend. Aku menjadi penulis di tabloid, dengan modal kuliahku tulis sastra yang juga memudahkan pekerjaanku saat ini, Sehingga bayangan ketidakpastian itu sedikit menghilang dari fikiranku. Tiga tahun sudah kepergian orangtuaku. Tak terasa hidupku kini semakin hari semakin membaik. Akupun kembali lagi berhubungan dengan Firky. Sebab masih banyak cinta yang kusimpan untuknya. Dan Rafa adikku tak perlu lagi ikut memikirkan beban yang pernah kurasakan dulu. “Sis”, panggil Firly menyambangiku “ia, apa?”, “hari ini kan kamu nggak kerja, gimana kalau kamu dan Rafa ku ajak main keluar?” “emmmmbbbb, boleh. Lagian semenjak kejadian itu, aku dan Rafa tak pernah lagi mau jalan-jalan keluar” Siang itu aku pergi bersama Firly dan Rafa, untuk sedikit merefreskan fikiran. Namun aku tak tau, bahwa hari ini adalah hari dimana maut akan merenggutku. Waktu itu aku yang duduk sendiri di bangku taman akan menghampiri Firly dan Rafa yang sedang asyik bermain di seberang jalan. “Siska, ayo kesini!”, seru Firly memanggil Aku pun berlari dengan cepatnya tanpa kusadari di ujung jalan terdapat truk yang akan menghempaskan tubuhku. Mendekat dan tubuhku tergeletak di jalan. “Siska!”, Firly menjerit memanggilku Berlari menyambangiku, Firly langsung mengangkat tubuhku dan membawaku ke rumah sakit. Dengan tak henti-hentinya Firly memanggil-manggil namaku untuk terus bertahan. Tepat di pintu masuk ruang ICU. Diletakkannya tubuhku di atas ranjang dorong. Dan dilarangnya Firly untuk mengikutiku masuk keruang ICU. Detik, menit, jam telah berlalu. Penantian Firly belum juga terjawab. Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia menjerit kesakitan? Aku yang seharusnya di dalam sana bukan dia!, hati Firly merintih bersalah. Beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruang ICU dengan berkata “kami telah melakukan yang terbaik, maaf nyawanya tidak tertolong lagi”. Firly hanya bisa diam, terkapar lemas diambang pintu. Hati bagai tak terasa, kesakitan yang terlampaui besar karena rasa bersalah. Maafkan aku Siska, maaf, andai aku tak menyuruhmu tadi, andai ku tak memanggilmu tadi pasti semua ini tak kan pernah terjadi. Omong kosong yang hanya terlontar dari mulut Firly dihadapan Siska yang terbaring dengan wajah pucat tanpa gairah. Lalu dipeluknya, Firly hanya bisa menangis dan berharap dia kan kembali. Sore itu pula jasad Siska disemayamkan. Air mata berderai tak terbendung lagi oleh Firly. Rafa yang melihatnyapun tak kuasa menahan tangis. Bertahun-tahun Rafa menjalani hidup hanya dengan kakaknya Siska, kini hari-harinya kan kelam oleh kenanagan atas kehadirannya. Siska semoga kau tenang di alam sana. Aku berharap kau selalu tersenyum. Yakinlah ku kan selalu merindukanmu. Rafa akan ku jaga, dia akan tinggal bersamaku dan aku kan menyayanginya seperti kau menyayanginya. Seru Firly diiringi isak tangis dihadapan nisan persemayaman Siska.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar